MAKNA HARI RAYA KURBAN
MAKNA HARI RAYA KURBAN
Oleh : Moh. Safrudin, M.Pdi
(Aktivis Gerakan Pemuda Ansor dan Peneliti Sangia Institute)
Tidak lama lagi kita akan merayakan hari raya idul adha atau yang lebih
dikenal hari raya kurban, Hari kurban harus diisi dengan berbagai nasihat, syiar,
dan ibadah yang mengandung nilai-nilai sosial, di samping merupakan kesempatan
untuk membahagiakan setiap insan di muka bumi. Allah SWT telah mengaitkan
Idul Adha ini dengan nilai sosial yang abadi dalam bentuk pengorbanan.
Pengorbanan artinya menyerahkan sesuatu yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Pada hari raya ini dan hari-hari tasyrik, Allah mensyariatkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan kurban yang dibagikan kepada fakir miskin, karib kerabat, dan sebagian untuk keluarganya sebagai upaya menebar kebahagiaan di muka bumi.
Dalam syariat kurban terkandung makna pengokohan ikatan sosial yang dilandasi kasih sayang, pengorbanan untuk kebahagiaan orang lain, ketulusikhlasan, dan amalan baik lainnya yang mencerminkan ketakwaan.
Pengorbanan artinya menyerahkan sesuatu yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Pada hari raya ini dan hari-hari tasyrik, Allah mensyariatkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan kurban yang dibagikan kepada fakir miskin, karib kerabat, dan sebagian untuk keluarganya sebagai upaya menebar kebahagiaan di muka bumi.
Dalam syariat kurban terkandung makna pengokohan ikatan sosial yang dilandasi kasih sayang, pengorbanan untuk kebahagiaan orang lain, ketulusikhlasan, dan amalan baik lainnya yang mencerminkan ketakwaan.
Ajaran
berkorban sebenarnya telah dilaksanakan sejak awal sejarah kemanusiaan,
yaitu oleh Habil dan Qobil, putra Nabi
Adam. Kurban Qobil ditolak, karena dilakukan tidak dengan hati yang ikhlas dan
bukan harta yang terbaik. Berbeda dengan itu adalah kurban yang dilakukan oleh
Habil, diterima oleh Allah. Habil mengorbankan hartanya yang terbaik dan dilakukan dengan penuh
keikhlasan.
Selanjutnya
ajaran kurban juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim.
Peristiwa yang sangat dahsyat,
bahwa yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim adalah satu-satunya putranya,
yang sangat dicintai. Tugas berat itu dilaksanakan olehnya untuk memenuhi perintah Tuhan yang diterima
lewat mimpi. Keduanya, baik Ismail
maupun Ibrahim memenuhi perintah itu,
sekalipun tugas itu amat berat, karena
di luar batas-batas kemanusiaan.
Melihat
sejarah Habil dan Qobil hingga Ibrahim dan Ismail, maka rupanya kurban adalah menjadi pintu yang
harus dilalui untuk meraih derajat mulia di sisi Tuhan. Bahwa kemuliaan sejati
harus dibayar dengan cara berkorban dan bukan dibeli. Berkorban berbeda dengan
membeli. Berkorban adalah memberikan sesuatu miliknya yang terbaik yang
didasari oleh rasa ikhlas.
Kemuliaan
seseorang tidak bisa didapatkan dari cara
membeli, tetapi hanya bisa
diperoleh dari berkorban. Betapa mulianya berkorban sebenarnya juga bisa
ditangkap dari perjalanan hidup manusia di setiap waktu, tidak terkecuali pada
zaman sekarang ini. Orang-orang yang mau
berkorban akan selalu mendapatkan
kemuliaan. Para pahlawan bangsa hingga
nama mereka diingat, sejarah hidupnya
selalu dijadikan tauladan, dan kata-katanya
dijadikan pegangan hidup adalah karena pengorbanannya.
Pada
saat sekarang ini, jiwa dan kesediaan berkorban terasa semakin hilang dan digantikan dengan kebiasaan
bertransaksi, atau berjual beli. Tidak sedikit pemimpin tatkala mendapatkan
posisinya itu diperoleh dari berkorban, melainkan dari membeli atau bertransaksi, hingga muncul
istilah jual beli jabatan. Akibatnya, yang bersangkutan sama sekali tidak mendapatkan kemuliaan dari jabatannya
itu. Sebaliknya, justru menjadi nista,
yaitu dikejar-kejar kejaksaan, polisi
atau KPK dan akhirnya dipenjarakan.
Pada
saat sekarang ini, di tengah-tengah hiruk pikuk terjadinya berbagai
penyimpangan, korupsi, manipulasi, dan berbagai mafia yang berakibat merendahkan
derajat kemanusiaan, maka para pemimpin
bangsa seharusnya segera menyeru untuk melakukan gerakan berkorban, dan bukan
bertransaksi. Bertransaksi, termasuk transaksi kekuasaan telah terbukti berakibat mensengsarakan dan bahkan
menistakan diri yang bersangkutan.
Sejarah
Habil, Ibrahim dan Ismail, bahkan juga
sejarah para pahlawan bangsa kita telah memberikan tauladan yang sangat mulia,
yaitu berkorban dari apa yang terbaik
dan dilakukan dengan ikhlas. Jika bangsa ini ke depan ingin mendapatkan
kemuliaan, maka tauladan itu harus dijalani.
Gerakan berkorban, harus dimulai
dari atas, yaitu dari semua kalangan elite bangsa. Sebaliknya, kebijakan berupa meningkatkan fasilitas para pejabat, termasuk berbagai
tunjangan, remunerasi yang akan
diterima, di tengah-tengah rakyat yang
belum sepenuhnya makmur seperti sekarang ini, maka perlu dihindari.
Di
tengah-tengah rakyat sedang mengalami kesulitan hidup seperti sekarang ini,
mestinya para pemimpin dan pejabat pemerintah,
bersedia berkorban. Gerakan
berkorban sebenarnya adalah juga sekaligus sebagai cara mudah, murah,
dan sederhana menghilangkan kebiasaan korupsi dan hidup serakah. Orang yang
terbiasa memberi atau berkorban akan menjauhkan diri dari hidup berlebih-lebihan, tamak, dan serakah.
Untuk
menghilangkan korupsi di negeri ini harus ada gerakan mengubah budaya. Yaitu
budaya menerima harus diubah
menjadi budaya memberi. Memberi atau
memposisikan tangan di atas akan selalu lebih mulia dari tangan di bawah,
apalagi diperoleh dengan cara mencuri
atau korupsi. Hari raya kurban yang
sebentar lagi tiba, harus dijadikan
momentum untuk memulai gerakan mulia itu. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar