HILANGNYA SEBUAH SANDAL JEPIT

HILANGNYA SEBUAH SANDAL JEPIT
Oleh: Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Aktifis Gerakan Pemuda Ansor sultra Peneliti Sangia Institute)

Saya teringat masa-masa kuliah, ketika saya tinggal dalam sebuah asrama Mahasiswa, yang sering kehilangan sandal jepit, ternyata kebiasaan teman-teman yang tinggal seasrama dengan saya sering memakai sandal jepit tanpa sepengetahuan saya sehingga ketika saya hendak memakai sandal saya harus disibukkan mencaari siapa gerangan yang memakainya. Hal ini bahkan masih berlaku sampai sekarang terutama yang tinggal di asrama.
Hal ini mirip kejadian yang menimpa seseorang Berasal dari kota Palu Sulawesi Tengah, muncul peristiwa sederhana, yaitu hilangnya sandal jepit milik seorang oknum polisi, yang kemudian diketahui diambil oleh seorang anak bernama Aal. Namanya sandal jepit, sehebat-hebatnya tetap sandal jepit, harganya murah. Apalagi sandal itu sudah terpakai. Kalaupun dijual dan ada yang beli harganya hanya belasan ribu rupiah.
Dilihat dari jenis dan harga barang yang diambil itu, kiranya tidak pantas hingga menjadi berita nasional. Sekedar persoalan sandal japit, mejadikan pejabat polisi tingkat pusat hingga daerah terlibat permbicaraan ini. Demikian pula para ahli hukum, hingga seorang Gayus Lumbun ikut terlibat memberikan penjelasan. Belum lagi para pengamat hukum, aktifis masyarakat, dan LSM, ikut ambil bagian meramaikan terhadap kasus ini.
Sandal japit yang sudah terpakai yang harganya hanya sekitar Rp. 15.000,- ternyata menjadi berita besar hingga menggegerkan banyak orang. Coba seandainya persoalan sandal jepit tersebut diselesaikan secara kekeluargaan antara pemiliknya, yaitu seorang oknum polisi dan anak muda bernama Aal, maka tidak akan terjadi berita yang sedemikian ramai seperti sekarang ini. Ikatan kekeluargaan yang mendalam biasanya menjadikan sesuatu yang harganya mahal sekalipun, tidak dihitung. Jangankan sekedar sandal japit, harta yang lebih mahal dari itupun akan diklaskan untuk diberikan secara gratis, dan belum tentu yang diberi juga selalu mau menerimanya.
Lebih dari sekedar persoalan sandal japit, pasti ada sesuatu yang perlu diperbaiki di tengah-tengah masyarakat. Sillaturrahim perlu dikembangkan lebih mantap. Jarak hubungan antara rakyat dan pejabat pemerintah seharusnya tidak terlalu jauh. Bahkan pejabat pemerintah harus berada di hari rakyat. Jika demikian itu yang dikembangkan, maka sekedar sandal japit pejabat diambil oleh rakyatnya sendiri, apalagi oleh anak-anak, tidak akan diperkarakan hingga ke pengadilan. Bangsa Indonesia ini memiliki karakter yang tidak individualistik, mereka suka tolong menolong, dan membangun kebersamaan. Dengan demikian, jika itu berjalan normal-normal saja,kalau ada yang ambil atau pinjam ini menandakan bahwa sandal kita banyak yang suka maka tidak akan marah hanya diambil sandal jepitnya.
Persoalannya hanya di sillaturrahim. Sillaturrahim dan kebersamaan atas dasar kemanusiaan semestinya dikembangkan secara luas, tidak terkecuali di antara sesama pejabat. Seseorang sekalipun hanya sebagai staf atau anak buah yang berada di tingkat bawah seharusnya diperlakukan secara manusiawi. Mereka tidak boleh diperlakukan semena-mena. Sebab mereka juga merasa meliki harga diri, harkat dan martabat sebagai manusia yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan. Anak buah yang diperlakukan dengan tidak semestinya, maka mereka akan mencari kompensasi dengan cara memperlakukan siapapun yang bisa memuaskan dirinya. Bisa jadi, mereka yang diperlakukan tidak semestinya itu adalah rakyat yang seharusnya justru diselamatkan.
Oleh karena itu, maka yang diperlukan sekarang ini adalah upaya membangun komunikasi yang ideal di tengah-tengah masyarakat. Komunikiasi ideal yang dimaksudkan itu adalah menempatkan harkat kemanusiaan pada posisi tertinggi. Jabatan, uang, kepemilikan harta benda dan sejenisnya tidak selayaknya diposisikan melebihi harkat dan martabat kemanusiaan itu. Nilai-nilai mulia yang sangat demokratis seperti ini harus dikembangkan dan dimulai dari level atas menuju ke bawah. Atasan tidak saja melakukan peran-peran kepemimpinan dan leadership, melainkan juga harus berhasil menjadi tauladan atau uswatun hasanah dalam membangun pergaulan ideal kemanusiaan yang dimaksudkan itu.
Manakala hal-hal seperti itu berhasil dikembangkan di negeri ini, maka tidak akan lagi terjadi rakyat yang tidak berdaya justru diusir oleh pengusaha perkebunan yang hidupnya sudah berlebih-lebihan. Selain itu maka juga tidak akan ada lagi seorang yang hanya mengambil sembilan buah pisang milik tetangga, memetik sebuah semangka, memungut beberapa buah kakao milik perkebunan, dan juga sandal jepit, lau diajukan ke pengadilan. Manakala harkat kemanusiaan dijunjung tinggi, sillaturahim diperkuat, dan anak buah diperlakukan secara terhormat, maka tidak akan terjadi kasus-kasus yang hanya membikin orang tertawa terbahak-bahak. Kasihan sekali, kalau hal sepele itu selalu terjadi dan juga selalu dibawa ke pengadilan,sedangkan kasus kasus besar tak pernah tuntas persoalannya maka apa jadinya bangsa ini di kemudian hari. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAFSIR SURAT AL-MAIDAH AYAT 67

RAMADHAN SEBAGAI BULAN TARBIYAH

Surat An-nahl ayat 125