RAMADHAN SEBAGAI BULAN TARBIYAH
oleh : Moh. Safrudin
Bulan ramadhan disebut juga sebagai syahrul at tarbiyah atau bulan pendidikan. Lingkup pendidikan yang dimaksud adalah sedemikian luas, menyangkut tarbiyah jasadiyah, tarbiyah fikriyah, dan tarbiyah qolbiyah. Proses pendidikan itu berjalan selama sebulan penuh, dan bagi mereka yang lulus, maka disebut sebagai seorang yang bertaqwa.
Sebagai tarbiyah jasadiyah, maka seseorang yang sedang berpuasa tidak diperbolehkan makan, munum, dan melakukan hubungan seksual di siang hari serta hal lain yang membatalkan puasanya. Tatkala pada hari biasa, seseorang secara bebas dibolehkan melakukan hal itu semua, maka pada saat berpuasa dilarang. Jasad atau raga seseorang yang sedang berpuasa dilatih untuk membatasi kemasukan apapun, termasuk yang halal sekalipun.
Dengan berpuasa, maka keinginan yang bersifat jasadiyah dibatasi atau bahkan dilarang. Pada saat tidak berpuasa seseorang bisa makan, minum dan berkumpul antara suami isteri, maka pada bulan itu dilatih untuk dibatasi. Kebebasan pada bulan itu tidak diberikan. Orang yang sedang menjalankan ibadah puasa dilatih untuk mencegah melakukan sesuatu yang sebenarnya disukai. Nafsu atau keinginan yang bersifat jasadiyah selalu menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya.
Mengkonsumsi sesuatu dalam jumlah tidak terbatas adalah merupakan sumber penyakit dan atau bahkan malapetaka. Namun tidak tidak semua orang menyadari. Banyak orang ingin memuaskan dirinya, mengkonsumsi apa saja yang diinginkan secara bebas. Pada bulan ramadhan nafsu atau keinginan jasad itu dibatasi. Jangankan makanan yang haram, sedangkan makanan yang halal saja tidak dibolehkan dimakan pada siang hari.
Sedangkan tarbiyah fikriyah, maka seseorang yang sedang berpuasa dilatih untuk tidak memikirkan makanan, minuman dan seks, tetapi diarahkan untuk berpikir pada hal-hal yang lebih besar dan mulia. Orang berpuasa dianjurkan banyak berdzikir atau ingat Allah. Melalui berdzikir, maka seseorang akan berimajinasi tentang hal-hal besar, seperti tentang Tuhan dan segala ciptaannya, tentang sifat-sifat-Nya yang mulia, tentang kehidupan di akherat nanti.
Selain itu, seseorang yang sedang berpuasa dianjurkan untuk banyak membaca al Qur’an. Maka artinya pada saat itu, pikirannya diajak untuk merenungkan dan memikirkan isi kitab suci yang berisi tentang berbagai hal terkait dengan kehidupan ini. Kitab suci memberikan keterangan tentang Tuhan, penciptaan, alam, manusia dan jalan menuju keselamatan. Maka artinya, dengan berpuasa seseorang diajak berpikir tentang sesuatu yang seharusnya diketahuinya.
Adapun tarbiyah qolbiyah adalah bahwa seseorang yang sedang berpuasa dilatih untuk membersihkan hatinya dari hal-hal yang menjadi penyakit hati, seperti terlalu mencintai harta, suka marah, bakhil, dengki, hasut, tamak, permusuhan dan lain-lan. Sebaliknya, pada bulan ramadhan seseorang yang berpuasa dilatih untuk banyak bersyukur, mencintai antar sesama, tolong menolong, banyak bersedekah, peduli terhadap orang miskin, anak yatim, dan seterusnya.
Dalam Islam pendidikan berlangsung seumur hidup, atau dalam bahasa Nabi Muhammad saw., minal mahdi illlahdi, dari ayunan sampai liang lahat. Pendidikan tidak mengenal berhenti, apalagi istirahat. Kehidupan sendiri, bagi seorang muslim, harus dimaknai sebagai proses pendidikan.Pendidikan adalah proses menjadi lebih baik dan atau lebih sempurna.
Semua orang mengehendaki agar hidupnya memperoleh derajad mulia, selamat di dunia dan di akherat. Kemuliaan dan keselamatan itu, dalam Islam harus diraih melalui keimanan dan amal sholeh serta berakhlakul karimah. Iman letaknya dihati adalah merupakan pemberian dari Allah swt. Sementara orang percaya bahwa dengan ilmu pengetahuan orang menjadi beriman, padahal pada kenyataannya begitu banyak orang telah menyandang ilmu pengetahuan tetapi toh tidak beriman, malahan justru sebaliknya.
Iman dalam al Qur’an disebut terlebih dahulu sebelum menyebut ilmu. Hal itu dapat dibaca misalnya dalam al Qur’an : yarfa’illahulladzi na aamanu minkum walladzi na uutul ilma darojah. Sementara orang berpendapat bahwa iman dapat menjadikan ilmu bertambah, tetapi dengan ilmu belum tentu iman menguat. Iman berada pada ketentuan Allah swt., bernama hidayah. Sedangkan hidayah tidak bisa dicari, melainkan hanya dipeoleh melalui permohonan kepada Allah swt.
Puasa diserukan hanya kepada orang yang telah beriman dan bukan ditujukan kepada orang yang belum beriman. Mengapa demikian, sebab tidak akan mungkin orang yang tidak beriman akan menjalankan puasa. Puasa adalah kegiatan yang pelakunya harus yakin bahwa kegiatannya tidak saja disaksikan oleh manusia, melainkan selalu berada pada pengawasan Allah swt. Orang puasa tidak membutuhkan saksi, yang paling tahu bahwa seseorang puasa atau tidak hanyalah yang bersangkutan. Orang yang masih belum bisa berhenti kegiatan menipu, jelas sulit menjalankan puasa. Ia hanya akan berpura-pura berpuasa, padahal hakekatnya ia tidak menjalankan ibadah itu. Oleh karena itu siapa saja yang mampu menjalankan puasa dengan sungguh-sungguh, maka artinya dia sudah lulus dari ujian untuk menghindar dari perbuatan tercela.
Meninggalkan sifat buruk, semisal menipu dan sejenisnya, bukan pekerjaan mudah. Untuk membangun sifat itu memerlukan latihan secara terus menerus. Seseorang untuk menjadi jujur, selalu merasa diawasi oleh Allah dan oleh karena itu sanggup menjaga lidahnya, tangannya, kemaluannya dari hal yang merusak puasa.. Oleh karena itulah maka puasa menjadi tepat kalau disebut sebagai proses pendidikan, yaitu kegiatan yang bertujuan akhir agar siapa saja yang menjalaninya menjadi lebih baik perilakunya, terpuji dan memperoleh derajad mulia, yang selanjutnya disebut sebagai telah memperoleh derajad taqwa itu
Semua orang mengehendaki agar hidupnya memperoleh derajad mulia, selamat di dunia dan di akherat. Kemuliaan dan keselamatan itu, dalam Islam harus diraih melalui keimanan dan amal sholeh serta berakhlakul karimah. Iman letaknya dihati adalah merupakan pemberian dari Allah swt. Sementara orang percaya bahwa dengan ilmu pengetahuan orang menjadi beriman, padahal pada kenyataannya begitu banyak orang telah menyandang ilmu pengetahuan tetapi toh tidak beriman, malahan justru sebaliknya.
Iman dalam al Qur’an disebut terlebih dahulu sebelum menyebut ilmu. Hal itu dapat dibaca misalnya dalam al Qur’an : yarfa’illahulladzi na aamanu minkum walladzi na uutul ilma darojah. Sementara orang berpendapat bahwa iman dapat menjadikan ilmu bertambah, tetapi dengan ilmu belum tentu iman menguat. Iman berada pada ketentuan Allah swt., bernama hidayah. Sedangkan hidayah tidak bisa dicari, melainkan hanya dipeoleh melalui permohonan kepada Allah swt.
Puasa diserukan hanya kepada orang yang telah beriman dan bukan ditujukan kepada orang yang belum beriman. Mengapa demikian, sebab tidak akan mungkin orang yang tidak beriman akan menjalankan puasa. Puasa adalah kegiatan yang pelakunya harus yakin bahwa kegiatannya tidak saja disaksikan oleh manusia, melainkan selalu berada pada pengawasan Allah swt. Orang puasa tidak membutuhkan saksi, yang paling tahu bahwa seseorang puasa atau tidak hanyalah yang bersangkutan. Orang yang masih belum bisa berhenti kegiatan menipu, jelas sulit menjalankan puasa. Ia hanya akan berpura-pura berpuasa, padahal hakekatnya ia tidak menjalankan ibadah itu. Oleh karena itu siapa saja yang mampu menjalankan puasa dengan sungguh-sungguh, maka artinya dia sudah lulus dari ujian untuk menghindar dari perbuatan tercela.
Meninggalkan sifat buruk, semisal menipu dan sejenisnya, bukan pekerjaan mudah. Untuk membangun sifat itu memerlukan latihan secara terus menerus. Seseorang untuk menjadi jujur, selalu merasa diawasi oleh Allah dan oleh karena itu sanggup menjaga lidahnya, tangannya, kemaluannya dari hal yang merusak puasa.. Oleh karena itulah maka puasa menjadi tepat kalau disebut sebagai proses pendidikan, yaitu kegiatan yang bertujuan akhir agar siapa saja yang menjalaninya menjadi lebih baik perilakunya, terpuji dan memperoleh derajad mulia, yang selanjutnya disebut sebagai telah memperoleh derajad taqwa itu
Pendidikan lewat berpuasa seperti dikemukakan itu dilakukan sebulan penuh. Apabila puasa itu dilakukan dengan ikhlas, disadari bahwa ibadah itu tidak ada yang mengawasi kecuali Allah sendiri, maka pelatihan atau tarbiyah dalam waktu satu bulan tersebut akan mewarnai kehidupan yang bersangkutan pada bulan-bulan berikutnya. Dengan demikian, maka puasa tidak saja diartikan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, tetapi benar-benar akan menjadi bulan pendidikan bagi yang menjalankannya. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar