DIPAKSA NIKAH DENGAN ORANG TUA

ASSALAMU ALAIKUM PAK USTADZ
Mau tanya penting sekali...........................

Saudari saya perempuan dinikahi laki-laki umur 58 tahun. Dia Mantan kyai/ gurunya untuk dijadikan istri ke-4. Saudari saya tidak mau dan kabur dari rumah. Dalam kondisi perempuan kabur sang ustadz tetap menikahi perempuan tersebut dengan menggunakan wali orang tuanya (akad nikah dengan orang tuanya secara sirri).

Pertanyaannya:
1. Akad nikah seperti tersebut di atas syah atau tidak (Lebih banyak madharatnya karena perempuan tetap tidak mau mengakui dia sebagai suami), mohon penjelasan dan dasar-dasar hukumnya?

2. Kalo memang itu syah. Bagaimana cara untuk cerainya?  
3. Bila perempuan itu menikah dengan laki-laki lain di KUA dan orang tua sebagai walinya syah tidak hukum pernikahannya?

Mohon penjelasan karena sudah konsultasi kesana, kemari tidak ada solusi.
Wassalam

Alishan  (bukan nama sebenarnya)

Jawab

Masih sering kita temukan di masyarakat kita fenomena nikah paksa dengan alasan agama. Maka kiranya penting untuk dijelaskan kepada masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam, tentang hukumnya secara rinci. Para ulama membahas bagaimana hukumnya seorang wali, khususnya ayah atau kakek menikahkan paksa seorang gadis dengan orang lain pilihan wali tersebut atau menikahkanya tanpa sepengatahuan atau persetujuan gadis tersebut? Uraian hukumnya adalah sbb.
1.            Seorang janda disepakati tidak boleh dipaksa sesuai hadist yang mengatakan “janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, adapun gadis maka ia dimintai persetujuannya, tanda persetujuannya adalah diam” (h.r. Muslim).
2.            Seorang gadis yang sudah dewasa, bolehkah orang tuanya menikahkannya dengan paksa, tanpa persetujuan gadis tersebut? Masalah ini ada dua pendapat yang populer di kalangan ulama fiqih.
Pendapat pertama: orang tua boleh menikahkan paksa anak gadisnya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam Syafii serta riwayat dari Imam Ahmad. Alasan pendapat ini adalah hadist di atas bahwa kalau janda lebih berhak atas dirinya, maka artinya orang tua lebih berhak atas anak gadisnya. Kemudian juga hadist yang mengatakan “seorang gadis datang ke Rasulullah s.a.w. mengadu kepada Rasulullah bahwa ayahnya menikahkannya dengan seseorang yang ia tidak menyukainya, lalu Rasulullah s.a.w. memberinya pilihan (boleh melanjutkan dan boleh menolak)” (h.r. Abud Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).  Rasulullah memberinya pilihan, itu menunjukkan bahwa nikahnya sah. Ada juga riwayat hadist tersebut dengan redaksi “gadist walinya lah yang menikahkannya” (h.r. Daraqutni)
Pendapat kedua gadis dan janda yang baligh aqil sama sekali tidak boleh dipaksa menikah dan nikah paksa hukumnya tidak sah. Pendapat ini berlandas pada hadist riwayat Bukhari Muslim “Seorang gadis Tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya, begitu juga seorang janda tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya. Seorang sahabat bertanya “bagaimana mengetahui persetujuannya (umumnya mereka malu)?” Rasulullah s.a.w. menjawab “Izinnya adalah ketika ia diam dan tidak menolak”. Shan’ani penulis kitab Subulus Salam Syarah Bulughul Maraam bahwa hadist ini juga menunjukkan kaharaman nikah paksa.
Kembali kepada mazhab Syafii yang mengatakan bahwa nikah paksa hukumnya sah, kalau ditelusuri lebih jauh dari kitab-kitab mazhab Syafii kita menemukan bahwa pendapat tersebut tidak mutlak. Artinya ada syarat-syarat tertentu yang menjadikan nikah paksa sah. Seperti ditegaskan dalam kitab Hasyiah Bujairami dan kitab al-Iqna’ karangan Khatib Al-Syarbini bahwa seorang ayah atau kakek bisa menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak ada permusuhan antara ayah dan gadis tersebut. Artinya tidak terbukti ada unsur penganiayaan dan kepentingan sepihak dalam pernikahan tersebut;
2. Sang ayah menikahkanya dengan orang yang sepadan dengannya (kafa’ah).
3. Ayah menikahkannya dengan mahar mitsil (yaitu senilai mahar atau lebih mahal dari mahar yang diterima ibu sang gadis);
4. Mahar harus dengan valuta yang berlaku di negeri dimana mereka hidup;
5. Suaminya harus mampu membayar mahar tersebut;
6. Ayah tidak menikahkanya dengan seseorang yang membuat gadis tersebut menderita, misalnya seorang yang buta atau orang yang sudah tua;
7. Gadis tersebut belum wajib melaksanakan haji, karena kalau sudah wajib akan tertunda hajinya oleh pernikahan tersebut;
Ulama Wali Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yaitu tidak ada permusuhan antara gadis dan lelaki yang dinikahkan dengannya.
Melihat syarat-syarat tersebut, secara jelas dapat dipahami bahwa inti dari syarat tersebut adalah tidak adanya keberatan dari pihak gadis untuk menerima nikah tersebut dan itu artinya adalah atas persetujuannya. Dengan demikian juga dapat difahami bahwa mazhab Syafii sebenarnya juga mengatakan bahwa nikah paksa tidak sah kecuali mendapatkan persetujuan dari si gadis. Sekiranya gadis tersebut ternyata menerima dan tidak menolak maka tidak perlu dilakukan pengulangan akad nikah. Demikian semoga membantu. Wallahu a’lam bissowab.
Ustadz Muhammad Niam, LLM
Koordinator PesantrenVirtual.com

Text refrensi seperti berikut:
  • ·       عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا.  
  • ·       وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا { أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا ، وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ } .
  • ·       رَوَاهُ أَحْمَدُ ، وَأَبُو دَاوُد ، وَابْنُ مَاجَهْ
  • ·       عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ وَلَا الثَّيِّبُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ إِذَا سَكَتَتْ.
  • ·       تَنْبِيهٌ : لِتَزْوِيجِ الْأَبِ أَوْ الْجَدِّ الْبِكْرَ بِغَيْرِ إذْنِهَا شُرُوطٌ : الْأَوَّلُ أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ .
الثَّانِي : أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْ كُفْءٍ .
الثَّالِثُ : أَنْ يُزَوِّجَهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا .
الرَّابِعُ : أَنْ يَكُونَ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ .
الْخَامِسُ : أَنْ لَا يَكُونَ الزَّوْجُ مُعْسِرًا بِالْمَهْرِ .
السَّادِسُ : أَنْ لَا يُزَوِّجَهَا بِمَنْ تَتَضَرَّرُ بِمُعَاشَرَتِهِ كَأَعْمَى أَوْ شَيْخٍ هَرَمٍ .
السَّابِعُ : أَنْ لَا يَكُونَ قَدْ وَجَبَ عَلَيْهَا نُسُكٌ فَإِنَّ الزَّوْجَ يَمْنَعُهَا لِكَوْنِ النُّسُكِ عَلَى التَّرَاخِي وَلَهَا غَرَضٌ فِي تَعْجِيلِ بَرَاءَةِ ذِمَّتِهَا قَالَهُ ابْنُ الْعِمَادِ .
وَهَلْ هَذِهِ الشُّرُوطُ الْمَذْكُورَةُ شُرُوطٌ لِصِحَّةِ النِّكَاحِ بِغَيْرِ الْإِذْنِ أَوْ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ فَقَطْ ؟ فِيهِ مَا هُوَ مُعْتَبَرٌ لِهَذَا وَمَا هُوَ مُعْتَبَرٌ لِذَلِكَ ، فَالْمُعْتَبَرَاتُ لِلصِّحَّةِ بِغَيْرِ الْإِذْنِ أَنْ لَا يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلِيِّهَا عَدَاوَةٌ ظَاهِرَةٌ ، وَأَنْ يَكُونَ الزَّوْجُ كُفُؤًا ، وَأَنْ يَكُونَ مُوسِرًا بِحَالِ صَدَاقِهَا ، وَمَا عَدَا ذَلِكَ شُرُوطٌ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ .
قَالَ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ : وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْتَبَرَ فِي الْإِجْبَارِ أَيْضًا انْتِفَاءُ الْعَدَاوَةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الزَّوْجِ انْتَهَى .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAFSIR SURAT AL-MAIDAH AYAT 67

RAMADHAN SEBAGAI BULAN TARBIYAH

Surat An-nahl ayat 125