DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA ; DARI NU UNTUK DUNIA[1]
DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA ; DARI NU UNTUK DUNIA[1]
Oleh : Ahmad Hilmy Hasan**
Prawacana
ISLAM adalah agama yang universal, sempurna, dinamis, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.[2] Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya.[3] Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan.[4]
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam Shalih li Kulli Zamān wa Makān). Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.[5]
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiyā/21 : 107.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.[6]
Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān/25 : 1.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).[7]
Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-Waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia).[8]
Ajaran universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual.[9] Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri.[10]Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian.[11]Sebagai agama Rahmatan Li al-‘Ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh Arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar.[12]
Untuk mengetahui hal itu, harus dipahami dalam konteks budaya Indonesia mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.
A.Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rais ‘Aam PBNU) mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. “Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam ?”. Kita dibingungkan oleh kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.
“Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom. Pokoknya yang anti Islam semakin lama semakin meningkat gara-gara umat Islam yang tidak mencerminkan keislaman yang rahmatan lil alamin, tapi justru Laknatan Lil ‘Alamin,”.
Untuk itulah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) membuat tema pada muktamar ke-33 lalu tentang Islam Nusantara “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. “Tapi pada geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,”.
Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang di gelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. Padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu. Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo.
“Islam ngono iku seng digoleki wong kono, Islam yang damai, guyub (rukun), ora petentengan, dan yang Rahmatan lil ‘Alamin. Walisongo memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Walisongo tidak hanya mengajak bil Lisan, tapi juga bil Hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,”.
PEMBAHASAN
DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA ; DARI NU UNTUK DUNIA
“Nusantara Islam is a distinctive Islam resulting from vivid, intense and vibrant interaction, contextualization, indigenization and vernacularization of universal Islam with Indonesian social, cultural and religious realities–this is Islam embedded. Nusantara Islamic orthodoxy (Ash’arite theology, Shafi’i school of law, and Ghazalian Sufism) nurtures the Wasathiyyah character a justly balanced and tolerant Islam. Nusantara Islam, no doubt, is very rich with Islamic legacy a shining hope for a renaissance of global Islamic civilization”.[13]
DASAR EPISTEMOLOGI DAN KONSEP ISLAM NUSANTARA
Dalam kajian filsafat ilmu, epistemologi membahas sumber, struktur, metode dan validitas satu pengetahuan. Epistemologi juga dipahami sebagai ilmu yang mengkaji keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Dalam konteks Islam Nusantara, kita perlu mengkaji historisitas pemikiran keislaman yang dikembangkan oleh NU, serta dinamikanya dari waktu ke waktu.
Kajian historis atas pemikiran keislaman NU sangat penting, karena Ormas yang mampu bertahan (survive) sampai hari ini memiliki pengalaman sejarah yang berbeda, dan unik. Selain itu, tipologi pemikiran keislaman yang dikembangkan satu ormas merupakan hasil dialektika antara ajaran Islam yang dikaji oleh komunitas, realitas sejarah di sekitar dan mimpi-mimpi yang ingin diwujudkan oleh anggota ormas. Dari sini kemudian lahir interpretasi versi masing-masing ormas. Dalam pandangan penulis, lembaran panjang sejarah Islam di mana pun merupakan pergumulan masyarakat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang mereka kaji dalam ruang dan waktu tertentu.
Karena itu, kalau pun setiap ormas di negeri ini memiliki kesimpulan yang unik dalam melihat realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama, hal itu lebih disebabkan kecenderungan corak pemikiran (‘ideologi’) dan bahkan cara pandang (paradigma) atas dinamika yang sudah terbangun sejak lama, dan melatarbelakangi berdirinya satu ormas. Iya, sikap ormas adalah hasil ijtihad yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu.(Red-pen).
Konsep Islam Nusantara[14] belakangan nyaring digaungkan. Di mana konsep tersebut merupakan Islam khas ala Indonesia yang merupakan gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air.
Istilah Islam Nusantara agaknya ganjil didengar, sama dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena bukankah Islam itu satu, dibangun di atas landasan yang satu, yaitu Alquran dan Sunnah ? Memang betul, Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu, akan tetapi selain memiliki landasan Nuṣūṣ al-Syarīah(Alquran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan Maqāṣīd al-Syarīʻah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-Syarīʻah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian Istiqrāꞌ(penelitian).
Azyumardi Azra,[15] ketika menjelaskan tentang apa sesungguhnya makna terdalam dari konsep Islam Nusantara. Bagi Azra, “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Ortodoksi Islam Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan karakter Wasathiyah yang moderat dan toleran. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam (Islamic legacy) menjadi harapan renaisans peradaban Islam global”.
Memang, filologi adalah salah satu pilar di antara pilar-pilar ilmu lain untuk menggali kekayaan sastra, budaya, dan tradisi intelektual Islam Nusantara. Dalam sebuah perbincangan via surat elektronik, Fachry Ali yang alumni FAH tahun 1984 itu menyapa Azra, katanya:
“…Now, as the dean of the Adab Faculty, using your own phrase on the obligation of developing philology at the UIN, it has become your Fardlu ‘Ain to make a thorough study on this subject matter: a Ciputat intellectual history…”.
Said Aqil Siradj menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah ajaran atau sekte baru dalam Islam sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Menurut Kiai Said, konsep itu merupakan pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Ia menjelaskan, umat Islam yang berada di Indonesia sangat dekat dengan budaya di tempat mereka tinggal dan inilah yang menjadi landasan munculnya konsep Islam Nusantara.
Dalam konsep tersebut kata dia, menggambarkan umat Islam Indonesia yang menyatu dengan budaya hasil kreasi masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Terang Kiai Said ;
“Kita harus menyatu dengan budaya itu, selama budaya itu baik dan tidak bertentangan itu semakin membuat indah Islam, kita tidak boleh menentang atau melawannya. Terkecuali budaya yang bertentangan dengan syariat, seperti zinah, berjudi, mabuk dan lainnya,”
Dalam sebuah perbincangan ringan dengan Komaruddin Hidayat (saat masih menjabat Rektor UIN), Susilo Bambang Yudhoyono (saat telah lengser sebagai Presiden RI ke-6) bersaksi bahwa masyarakat Muslim internasional sangat banyak berharap agar Indonesia menjadi prototype peradaban Islam di era kontemporer, mengingat karakter masyarakatnya yang multikultural, multietnik, moderat, dan jauh lebih toleran dibanding negara-negara Muslim lain. Itu pula yang mendorong Komarudin Hidayat menggebu-gebu dan bermimpi Indonesia memiliki ikon pendidikan tinggi Islam yang disegani dunia.
Begitu dua kata yang tersusun dari entitas agama dan budaya ini ramai dibincangkan, barulah para tokoh NU berikhtiar merumuskan definisinya. Prof Isom Yusqi,[16] misalnya, menyebutkan bahwa Islam Nusantara merupakan “istilah yang digunakan untuk merangkai ajaran dan paham keislaman dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam”.[17]Kemudian, KH Afifuddin Muhajir,[18] memaknai Islam Nusantara sebagai “pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara” (NU Online, 27/6). Begitu juga Abdul Moqsith Ghozali, menyebut Islam Nusantara sebagai “Islam yang sanggup berdialektika dengan kebudayaan masyarakat”.[19]
Gus Mus juga menjelaskan, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara. “Tapi geger, kaget-kaget bagi orang yang tidak pernah ngaji. Kalau pernah ngaji pasti tahu idhofah (penyandaran) mempunyai berbagai makna, dalam arti mengetahui kata Islam yang disandarkan dengan kata Nusantara,” jelasnya.
Gus Mus mencontohkan istilah “air gelas” apakah maknanya airnya gelas, apa air yang digelas, apakah air dari gelas, apa gelas dari air. padahal bagi santri di pesantren sudah diajari untuk memahami seperti itu. Secara sederhana, Gus Mus menjelaskan maksud Islam Nusantara yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang diajarkan Walisongo.[20] Walisongo menurut Gus Mus, memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. “Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam,” tegas Gus Mus.
Ketum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) Khairul Anam Haritsah menilai, konsep Islam Nusantara dapat menjalankan program deradikalisasi dari pemerintah. Pasalnya, Islam Nusantara menonjolkan sisi kebhinekaan dan jauh dari doktrin-doktrin kekerasan.
Hal itu diungkapkan Khairul Anam dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan dengan tema Perspektif Islam Nusantara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Jakarta, Senin (6/7). Kata Khairul ;
“Islam Nusantara itu merangkul bukan memukul, Islam Nusantara itu menasehati bukan menyakiti, dan Islam Nusantara itu mengajak bukan mengejek. IPNU akan mendukung kehidupan berbangsa agenda MPR dengan membumikan Islam Nusantara. Indonesia kaya akan budaya, suku, ras dan agama,”.
Dia mengatakan, Islam Nusantara merupakan cara pandang Islam sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Artinya, Islam Nusantara memandang perbedaan sebagai sebuah kekayaan dan rahmat Tuhan bukan menuding, menyalahkan, menyesatkan, bahkan mengkafirkan.
Dirinya meyakini, konsep Islam Nusantara dapat menekan ancaman radikalisme di Indonesia. Apalagi banyak tokoh ulama dari Timur Tengah mempelajari relasi agama dengan negara seperti semangat Pancasila di Indonesia yang mampu menyeimbangkan nasionalisme dengan Islam sebagai agama.
Menurutnya, konflik di Timur Tengah banyak terjadi lantaran tidak adanya sikap nasionalisme atau kecintaan Tanah Air sehingga rawan akan perang saudara.
Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR Zainut Tauhid menambahkan, NU di Indonesia secara konsisten melaksanakan ajaran Islam moderat, anti kekerasan. Bahkan Islam Nusantara pernah dinyatakan Gus Dur melalui konsep “Pribumisasi Islam” dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jelas Zainut ;
“Konsep yang ditekankan adalah Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat tetapi juga tidak menolak nilai-nilai baru yang terus muncul sepanjang untuk kebaikan masyarakat,”
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Di antaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻillat-ʻillat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dari penelitian itu diperoleh kesimpulan bahwa di balik aturan-aturan syariat ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan[21] manusia di dunia dan akhirat.
Ulama Uṣūl Fiqh membagi Maslahat kepada tiga bagian, yaitu :
- MaslahatMuʻtabarah, yaitu maslahat yang mendapat apresiasi dari syariat melalui salah satu nashnya seperti kearifan dan kebijakan dalam menjalankan dakwah islamiah.
- MaslahatMulghāh, yaitu maslahat yang diabaikan oleh syariat melalui salah satu nashnya seperti menyamaratakan pembagian harta pusaka (warisan) antara anak laki-laki dan anak perempuan.
- MaslahatMursalah, yaitu kemaslahatan yang terlepas dari dalil, yakni tidak memiliki acuan nash khusus, baik yang mengapreasiasi maupun yang mengabaikannya seperti pencatatan akad nikah.
Tujuan negara dalam Islam sejatinya sejalan dengan tujuan syariat, yaitu terwujudnya keadilan dan kemakmuran yang berketuhanan yang Maha Esa, negara yang memiliki dimensi kemaslahatan duniawi dan ukhrawi seperti tersebut sesungguhnya sudah memenuhi syarat untuk disebut negara Khilāfah, sekurang-kurangnya menurut konsep al-Mawardi. Dalam hal ini menurut beliau, “الامامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا” ; kepemimpinan Negara diletakkan sebagai kelanjutan tugas kenabian dalam menjadi agama dan mengatur dunia.
Sementara itu, Maqāṣīd al-Syarīʻah sekurang-kurangnya penting diperhatikan dalam dua hal :
- Dalam memahami Nuṣūṣ al-Syarīah, nash-nash syariat yang dipahami dengan memperhatikan Maqāṣīd al-Syarīʻahakan melahirkan hukum yang tidak selalu tekstual tetapi juga kontekstual-empirik.
- Dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Alqur’an dan Sunnah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Di antara dalil-dalil sekunder adalah; al-Qiyās, Istiḥsān, Saddu al-Zarīʻah, ʻUrf, dan Maṣlaḥah Mursalahseperti disinggung di atas.
Al-Qiyās ialah memberlakukan hukum kasus yang memiliki acuan nash untuk kasus lain yang tidak memiliki acuan nash karena keduanya memiliki ʻillat (alasan hukum) yang sama.
Istihsān ialah kebijakan yang menyimpang dari dalil yang lebih jelas atau dari ketentuan hukum umum karena ada kemaslahatan yang hendak dicapai.
Sadd al-Zarīʻah ialah upaya menutup jalan yang diyakini atau diduga kuat mengantarkan kepada mafsadat (kerusakan).
ʻUrf adalah tradisi atau adat istiadat yang dialami dan dijalani oleh manusia baik personal maupun komunal. ʻUrf seseorang atau suatu masyarakat harus diperhatikan dan dipertimbangkan di dalam menetapkan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Mengabaikan ʻUrf yang sahih seperti tersebut bertentangan dengan cita-cita kemaslahatan sebagai tujuan (Maqāṣid) syariat.
Sebagian ulama mendasarkan posisi ʻUrf sebagai Hujjah Syarʻiyyah pada fiman Allah,
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (al-Aʻrāf: 199)
Dan sebagian yang lain mendasarkan pada hadis riwayat Ibn Masʻūd,
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah.”
Al-Sarakhsi mengungkapkan dalam kitab al-Mabsūṭ :
الثابت بالعرف كاالثابت بالنص
“Yang ditetapkan oleh ʻUrf sama dengan yang ditetapkan oleh Nash.”
Pada titik ini perlu ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya karena yang pertama bersifat Ilahiyah sementara yang kedua adalah Insaniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipratikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insaniah dan karenanya tidak mengancam eksistensi kebudayaan.
Selain Nuṣūṣ al-Syarīʻah dan Maqāṣīd al-Syarīʻah, Islam juga memiliki Mabādiꞌ al-Syarīʻah (prinsip-prinsip syari’at). Salah satu prinsip syariat yang paling utama sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-Wasaṭhiyyah (Moderat). Hal ini dinyatakan langsung oleh Allah SWT dalam firman-Nya,
وَكَذلِك جَعَلْناكُم أُمَّةً وَسَطا لِتَكُوْنُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكَم شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”(al-Baqarah: 143)
Wasaṭhiyyah yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata Moderasi/Moderat memiliki beberapa makna. Salah satu maknanya adalah al-Wāqiʻiyyah (realistis). Realistis di sini tidak berarti Taslīm atau menyerah pada keadaan yang terjadi, akan tetapi berarti tidak menutup mata dari realita yang ada dengan tetap berusaha untuk menggapai keadaan yang ideal.
Banyak kaidah Fikih yang mengacu pada prinsip Wāqiʻiyyah, di antaranya:
الضرر يزال
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
النزول الى الواقع الأدنى عند تعذر المثل الأعلى
دارهم ما دمت فى دارهم، وحيهم ما دمت فى حيهم
Dakwah beberapa Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas. Secara terutama adalah Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjauh jika pendirian mereka diserang. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis (penyesuaian antara aliran aliran) dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut tidak hanya kreatif, tapi juga sangat efektif (wa Yadkhulūna fī Dīn Allahi Afwājān). Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Demikian juga dengan metode Sunan Kudus yang mendekati masyarakatnya melalui simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Ada cerita masyhur, suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al-Baqarah yang berarti “Seekor Sapi”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Suatu pendekatan yang agaknya meng-copy paste kisah 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Perlu juga dikemukakan perbedaan prinsip antara Fikih ibadat (ritual) dan muamalat(sosial). Salah satu kaidah Fikih ibadat mengatakan “الله لا يعبد الا بما شرع” / Allah tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang disyari’atkan-Nya. Sebaliknya kaidah Fikih muamalat mengatakan, “المعاملات طلق حتى يعلم المنع” / Muamalat itu bebas sampai ada dalil yang melarang.
Paparan di atas dikemukakan untuk menjelaskan Manhaj Islam Nusantara sebagaimana dibangun dan diterapkan oleh Wali Songo serta diikuti oleh ulama Ahli al-Sunnah di Negara ini dalam periode berikutnya.
Sehingga, Islam Nusantara ialah faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat.
ISLAM MODERAT KONTEKS NUSANTARA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab mencatat bahwa ;
“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”.[22]
Yang menjadi permasalahan adalah dapatkah dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri (Truth Claim), dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep “Islam moderat”. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang moderat. Walaupun dalam Islam sendiri konsep “Islam moderat” tidak ada rujukannya secara pasti[23], akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun dan mau mengerti golongan lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang sebenarnya, konsep “Islam moderat” tampaknya patut diaktualisasikan.
Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo.
Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama). Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan, meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”.[24] Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.[25]
Sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian/kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).[26]
AKAR ISLAM MODERAT INDONESIA SEBAGAI EMBRIO LAHIRNYA ISLAM NUSANTARA
Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang menyangkut proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya ia telah menampakkan keramahannya. Dalam konteks ini, Islam disebarkan dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam. Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di Indonesia.
Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud,[27] Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java, jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.[28]
Demikian pula dikatakan, bahwa proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisongo. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantra. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam.[29]
Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekstualisasikan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Lebih konkritnya, kontekstual Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan dinamis/lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar Shalih Li kulli Zaman wa Makan[30] (cocok untuk setiap zaman dan tempat).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek Islam sebagaimana yang diajarkan Walisongo dan diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Jawa dapat disebut Islam kaffah atau Islam yang benar. Beragam pandangan pun muncul terkait dengan hal ini, baik dari beberapa golongan dalam Islam sendiri maupun para pengamat asing dan dalam negeri. Misalnya, Geertz adalah salah satu tokoh yang menyangsikan ke-Muslim-an mayoritas orang Jawa, karena fenomena sinkretisme begitu nyata di kalangan mereka.[31] Cliffort Geertz merupakan tokoh penting dalam studi Islam Jawa yang mengatakan praktek keagamaan orang Jawa campur aduk dengan unsur-unsur tradisi-tradisi non Islam. Menurutnya, kelompok priyayi dan abangan dengan jelas mencerminkan tipisnya pengaruh Islam dalam kehidupan orang Jawa. Bahkan, dalam pandangannya, kelompok yang diangap paling Islami, yaitu santri tidak terlepas dari pengaruh tradisi pra-Islam. Identitas ke-Islaman orang Jawa kurang lebih sama dengan “Islam Nominal”.[32]
Sebaliknya, pengamat lain menyebutkan, mungkin benar bahwa Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periferal, Islam nominal, atau Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan berkembang di pusatnya, yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis. Jadi, tidak berarti tradisi intelektual yang berkembang di Asia Tenggara sejak masa awalnya terlepas dari “tradisi besar” Islam. Bahkan, khususunya sejak abad ke-17, dapat disaksikan semakin tingginya intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara Timur Tengah dengan Nusantara, yang pada esensinya bertujuan mendekatkan “tradisi lokal” Islam di Asia tenggara dengan “tradisi besar” (tradisi normatif dan idealistik) sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam al-Qur’an dan Sunnah.[33]
Demikian pula, berdasarkan kesimpulan Mark Woodward, kalau ditelaah secara mendalam dan ditinjau dari segi perspektif Islam secara luas, didapati bahwa hampir seluruh ajaran, tradisi, dan penekanan yang bersifat spiritual yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa, pada dasarnya bersumber dari ajaran Islam di Timur Tengah. Apa yang dikenal dalam upacara keagamaan Jawa, seperti grebeg, selametan, kalimasodo, dsb adalah bagian dari ajaran Islam. Selain itu, doktrin Kawula Gusti, Martabat Tujuh[34] dan tradisi wayang yang dikenal dan dilestarikan dalam masyarakat Jawa, dapat ditelusuri asal usulnya dari tradisi tasawuf Islam.[35]
Sejalan dengan pernyataan Woodward dan Azra, dapatlah dibenarkan bahwa tidak satu pun budaya di dunia ini yang tidak sinkretik, karena semua budaya pasti memiliki aspek historisnya yang tidak tunggal dan dengan demikian bersifat sinkretik.[36] Baik agama maupun budaya tidak dapat mengelak dari proses yang tak mungkin terhindarkan, yakni perubahan. Memang benar, ajaran agama sebagaimana tercantum secara tekstual dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti keadaannya semula. Akan tetapi, begitu ajaran agama harus dipahami, ditafsirkan, dan diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata dalam suatu setting budaya, politik, dan ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang didasari ajaran agama tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi kebudayan.[37]
Menurut Fazlur Rahman, memang secara historis sumber utama Islam adalah wahyu Ilahi yang kemudian termuat dalam kitab yang di sebut al-Qur’an. Namun, kitab ini tidak turun sekaligus dalam jangka waktu berbarengan, melainkan turun sedikit demi sedikit dan baru terkumpul setelah beberapa puluh tahun lamanya. Oleh karena itu, wahyu jenis ini merupakan reaksi dari kondisi sosial-historis yang berlangsung pada saat itu. Hubungan antara pemeluk dan teks wahyu dimungkinkan oleh aspek normatif wahyu itu, adapun pola yang berlangsung berjalan melalui cara interpretasi (penafsiran). Teks tidak pernah berbicara sendiri, dan ia akan bermakna jika dihubungkan dengan manusia. Apa yang diperbuat, disetujui, dan dikatakan oleh Rasul adalah hasil usaha (ijtihad) Rasul memahami dimensi normatif wahyu. Sementara itu, upaya interpretasi Rasul terhadap teks dipengaruhi oleh situasi historis yang bersifat partikular pada masanya. Bahkan, tidak jarang Rasul sendiri sering mengubah interpretasinya terhadap al-Qur’an jika diperlukan.[38]
Terjadinya pluralitas budaya dari penganut agama yang sama tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah begitu luas dengan latar belakang kultur yang beraneka ragam. Dalam interaksi dan dialog antara ajaran agama dengan budaya lokal yang lebih bersifat lokal itu, kuat atau lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya akan sangat menentukan terhadap seberapa dalam dan kuat ajaran agama yang universal mencapai realitas sosial budaya lokal. Pluralitas wajah agama itu dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap kondisi sosial, budaya, maupun ekonomi yang mereka hadapi. Dari perspektif inilah dapat diterangkan mengapa, misalnya, gerakan Islam yang selama ini dikenal sebagai “modernis” yakni Muhammadiyah cenderung memperoleh dukungan yang kuat di daerah perkotaan, sedangkan NU yang sering disebut sebagai golongan ”tradisional” memperoleh pengaruh luas di daerah pedesaan.[39]
Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah meskipun suatu agama itu diajarkan oleh Nabi yang satu dan kitab suci yang satu pula, tetapi semakin agama tersebut berkembang dan semakin besar jumlah penganut serta semakin luas daerah pengaruhnya, maka akan semakin sukar pula kesatuan wajah dari agama tersebut dapat dipertahankan. Karena, sewaktu ajaran dan agama yang berasal dari langit itu hendak dilendingkan ke dataran empirik, maka mau tidak mau harus dihadapkan dengan serangkaian realitas sosial budaya yang sering kali tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan ajaran agama yang hendak dikembangkan.[40]
“Tidak ada satu pun agama yang tidak berangkat dari sebuah respon sosial. Semua bertolak dan bergumul dari, untuk, dan dengannya. Ketika agama yang merupakan titah suci Tuhan berdialektika dengan relitas sosial, berarti ia masuk pada kubangan sejarah, atau menyejarah. Sejarah, ruang, dan waktu adalah penguji kebenaran serta kekokohan eksistensi agama. Sebagai penguji, sejarah tentu memiliki seperangkat bahan ujian. Bahan itu adalah unsur-unsur budaya setempat, fenomena dan budaya baru, serta rasionalitas.”[41]
Sekali lagi, perselingkuhan antara agama dan tradisi adalah sunatullah. Tradisi adalah pemikiran manusia yang profan atas teks-teks keagamaan yang sakral. Dengan demikian, relasi Islam dan tradisi dalam pemikiran umat Islam sangatlah erat. Memahami Islam tanpa sokongan penguasaan warisan intelektual para pendahulu amat sulit mencapai titik kesempurnaan. Namun, tradisi bukanlah segalanya, ia tetap dalam ketidak sempurnaannya sebagai buah pemikiran yang amat sarat nilai. Ia harus disikapi secara proporsional dan tidak boleh dikurangi atau dilebih-lebihkan dari kepastian sebenarnya.[42]
MINIATUR ISLAM MODERAT
Fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. NU adalah organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang dimainkan. Oleh karena itu, kedua organisasi ini patut disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini. NU merupakan organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar.[43] Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide keislaman yang toleran dan damai.[44]
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, NU adalah organisasi Islam yang paling produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam, dengan tujuan membendung gelombang radikalisme. Dengan demikian, agenda Islam moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun kesaling-pahaman (mutual understanding) antar peradaban.[45]
Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah waljamaah dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain.[46]
Perkataan Ahlusunnah waljama’ah dapat diartikan sebagai “para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma’ (kesepakatan) ulama”.[47] Sementara itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga I‘tidal (bersikap adil), Tawazun (bersikap seimbang), dan Tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljama’ah juga memiliki sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam).[48]
Pemikiran Aswaja sangat toleransi terhadap pluralisme pemikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja sangat responsif terhadap hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah- tengah masyarakat (Madzhab Hani, Malik, Syafi’i, dan Hanbali), melainkan juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud al-Dhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-lain.[49]
Model keberagamaan NU, sebagaimana disebutkan, mungkin tepat apabila dikatakan sebagai pewaris para wali di Indonesia. Diketahui, bahwa usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur non-Islam merupakan suatu pendekatan yang bijak. Bukankah al-Qur’an menganjurkan sebuah metode yang bijaksana, yaitu “serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yag baik” (QS. An-Nahl: 125).32. Dalam mendinamiskan perkembangan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam meng-Islam-kan pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal (local wisdom) dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.[50]
NILAI-NILAI AJARAN ISLAM NUSANTARA ; LAHIRNYA PANCASILA
Satu lagi contoh penting dari bagaimana ulama Nusantara memahami dan menerapkan ajaran Islam adalah lahirnya Pancasila. Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia diterima dan disepakati untuk menjadi dasar negara Indonesia, meskipun pada awalnya kaum muslimin keberatan dengan itu, karena yang mereka idealkan adalah Islam secara eksplisit yang menjadi dasar negara. Namun, akhirnya mereka sadar bahwa secara substansial pancasila adalah sangat Islami.[51] Sila pertama yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan Tauhid dalam akidah ke-Islaman. Sedangkan sila-sila yang lain merupakan bagian dari representasi Syari’at.
Komentar
Posting Komentar