MEMBANGUN AKHLAK MELALUI PENDIDIKAN


MEMBANGUN  AKHLAK  MELALUI PENDIDIKAN
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Aktivis Gerakan Pemuda Ansor Sultra dan Peneliti Sangia Institute)
Sekarang kita mendambakan anak didik yang berakhlak mulia, namun kita seringkali berdebat tentang difini pendidikan. Difinisi  itu  memang penting dirumuskan agar menjadi jelas  bagi  siapa saja. Selama ini telah  ada berbagai  rumusan yang dihasilkan oleh para ahli tentang pendidikan itu.  Salah satunya disebutkan bahwa,  pendidikan adalah usaha sadar untuk mengantarkan  para peserta didik  menjadi dewasa.
Bagi saya,  yang  penting rumusan itu  harus  berhasil  dipahami dan mampu melahirkan kekuatan untuk menggerakkan kegiatan pendidikan. Kekuatan yang dimaksudkan itu  berupa semangat, tekat, etos, motivasi dan semacamnya.  Gambaran tentang produk yang dihasilkan itu harus jelas. Sedangkan produk yang dimaksudkan itu adalah akhlak  peserta didik  yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Oleh karena lembaga pendidikan itu beraneka ragam, baik dilihat dari jenis maupun jenjangnya, maka akhlak itu juga bermacam-macam sesuai dengan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Seorang yang belajar di madrasah  mestinya agak berbeda dari lulusan  sekolah umum. Perbedaan itu   misalnya,  setelah tamat berakhlaknya lebih agamis.
Akhlak  yang dimaksudkan itu misalnya,  peserta  didiknya  selain bisa membaca, menulis dan berhitung, juga mengenal dan mencintai tuhannya, hormat kepada orang tua, mampu membaca dan mencintai al Qur’an, rajin shalat berjama’ah, mengenal alam lingkungannya.  Bagi lulusan madrasah ibtidaiyah beberapa  akhlak sebagaimana disebutkan terakhir  itu dianggap unggul dan harus diwujudkan.
Berbeda dengan madrasah adalah sekolah umum. Sekolah umum tingkat dasar misalnya, memproduk  para siswa mampu membaca, menulis, berhitung. Selain itu, siswa SD diharapkan mengenal tuhannya, kitab suci agamanya masing-masing,  selalu hormat kepada guru dan orang tua,  dan mengenal lingkungannya.
Apapun rumusannya, bahwa masing-masing lembaga pendidikan memiliki ciri khas, terkait  akhlak yang dihasilkan. Sekalipun sama-sama sekolah tingkat dasar umum atau sama-sama madrasah, masing-masing lulusannya juga memiliki  akhlak yang  khas. Hal itu sama dengan  para santri pesantren,  mereka dengan mudah bisa dibedakan dari lulusan sekolah umum. Para santri berakhlak tawadhu’, thaat terhadap para kyai, selalu berharap memperoleh berkah dan sejenisnya. Orientasi santri seperti itu, membentuk akhlak yang khas.
Berbeda dengan  santri, maka murid sekolah umum menginginkan agar lulus dengan nilai unggul,  agar berhasil memilih jenjang pendidikan berikutnya sesuai dengan yang diinginkan. Tujuan utama mereka  adalah mendapatkan status lulus dan nilai unggul. Oleh karena itu, sehari-hari yang dilakukan adalah belajar, menghafal rumus-rumus, berlatih mengerjakan soal,  dan sejenisnya. Tentang bagaimana akhlak ideal yang harus ditampilkan, tidak terlalu menjadi perhatian.
Tujuan akhir belajar seperti itu,  menjadikan para siswa mengambil cara apapun,  asal bisa dilakukan. Oleh karena itu,  dalam pelaksanaan ujian akhir agar tidak terjadi penyimpangan, maka diperlukan pengawasan yang ketat. Namun demikian, penyimpangan itu juga masih tetap terjadi. Bahkan penyimpangan itu adakalanya dilakukan  guru dan bahkan oleh kepala sekolah yang bersangkutan.  Akhirnya  pendidikan dijalankan  dengan cara  aneh dan  kontra produktif dari tujuan sebenarnya.
Pendidikan  yang sebenarnya membentuk akhlak ideal yang diinginkan, ternyata berubah menjadi sekedar untuk mengetahui seberapa jauh ilmu pengetahuan yang dirumuskan  dalam kurikulum berhasil dikuasai oleh para siswa. Bahkan  jauh lebih sederhana lagi, yaitu hanya untuk mengetahui seberapa banyak para iswa berhasil menjawab soal-soal  pada ujian akhir.  Dengan demikian makna pendidikan menjadi tereduksi  hanya sebatas melatih para peserta didik mampu menjawab soal ujian, dan bukan lagi berorientasi untuk menghasilkan  akhlak yang diinginkan.
Dari gambaran tersebut,  sebenarnya menunjukkan bahwa  dalam  pelaksanaan pendidikan telah terjadi penyimpangan orientasi yang cukup jauh. Pendidikan tidak lagi menghasilkan  akhlak lulusan yang diinginkan  misalnya mampu berbuat jujur, didiplin, menghormati orang tua, guru,  dan bahkan  para pemimpin negara sebagai bagian dari kecintaannya terhadap tanah airnya. Orientasi pendidikan menjadi   hanya agar lulus ujian nasional,  dengan mengabaikan nilai-nilai yang seharusnya dijadikan dasar dalam berakhlak.
Para siswa  tatkala  belajar ilmu alam, ilmu sosial dan bahasa  diorientasikan hanya sebatas agar  lulus ujian, dan bukan dimaksudkan  untuk mengenal diri, lingkungan,  dan tuhannya. Selain itu belajar hanya dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban sebagaimana pada umumnya anak-anak usia sekolah, dan  bukan   untuk membekali diri untuk  memasuki kehidupan kelak di kemudian hari.
Semestinya, bersekolah  diorientasikan  agar bisa hidup dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara dengan segala tuntutan dan kewajibannya. Pendidikan yang berhasil semestinya adalah yang mampu melahirkan akhlak ideal yang diinginkan oleh lembaga penyelenggara pendidikan yang bersangkutan. Rupanya  orientasi seperti itu  belum disadari oleh banyak orang, tidak terkecuali oleh mereka yang sehari-hari aktif bekerja di dunia pendidikan sekalipun. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAFSIR SURAT AL-MAIDAH AYAT 67

RAMADHAN SEBAGAI BULAN TARBIYAH

Surat An-nahl ayat 125